Tulisan ini dimuat di Jawa Pos hari ini, Jum’at, 29 Maret 2019, sebagai tanggapan atas tulisan KH Salahuddin Wahid (Gus Solah)
M. KHOLID SYEIRAZI
Saya yakin semua Nahdliyin, elit dan umatnya, setuju bahwa khittah NU bukanlah perkara yang jelas dan terang benderang. Dalam bahasa fiqh, khittah bukan perkara qath’Ä« (kategoris: jelas dan pasti), tetapi perkara dhannÄ« (hipotetis: samar-samar). Ketidakpastian ini, sebagaimana Allah membagi agama ke dalam perkara muhkamat dan mutasyâbihât, tentu terkandung hikmah. Di dalam setiap perbedaan pendapat, tafsir, dan preferensi, terdapat rahmat untuk umat. Karena itu, izinkan saya menyumbangkan perspektif lain tentang khittah yang berbeda dengan tafsir guru kami, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), dalam artikel di Jawa Pos berjudul “Beda Tafsir Khitah NU” (18/3/2019).
NU dan Politik
NU didirikan sebagai ormas sosial keagamaan (jam’iyah dÄ«niyah ijtimâ’iyah). Namun, NU sejak awal tidak pernah lepas dari kegiatan politik. Jadi tidak tepat anggapan Gus Solah bahwa tujuan NU sekadar “mengembangkan Islam berdasar ajaran empat madzhab, sama sekali tidak bernuansa politik.” Sebelum NU resmi berdiri, KH Abdul Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (1916), Tashwirul Afkar (1918), dan Nahdlatut Tujjar (1918). Ketiga organ ini adalah embrio kelahiran NU.
Nahdlatul Wathan jelas bervisi politik yaitu kemerdekaan bangsa. Dalam Muktmar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, NU menelorkan ‘keputusan politik’ tentang Nusantara sebagai Dârus Salâm. Tahun 1938, di Muktamar Menes, Banten, sempat mengemuka usulan perlunya NU menempatkan wakil di Dewan Rakyat (Volksraad), meskipun ditolak. Tahun 1945, NU di bawah kepemimpinan Hadlratus Syeikh KH. Hasyim menggemakan Resolusi Jihad. Periode setelah itu, baik ketika menjadi komponen dalam Masyumi maupun setelah berdiri sebagai partai politik sendiri (1952-1973), NU terjun ke dalam politik praktis. Ketika akhirnya memutuskan kembali ke Khittah pada 1984, NU sedang menjalankan transformasi siasat, yang dalam istilah Kiai Sahal, pindah dari low politics (siyâsah sâfilah) ke high politics (siyâsah ‘âliyah sâmiyah). Poinnya, NU tidak pernah lepas dari politik, hanya beda dalam bentuk dan aktualisasinya. Memisahkan NU dari politik, seperti memisahkan rasa manis dari gula atau asin dari garam.
Pagar Khittah
Setiap individu itu politis, apalagi jika berhimpun dalam organisasi besar. Sebagai organisasi besar, dengan atau tanpa sengaja, sebagai fâ’il (subjek) maupun maf’Å«l (objek), NU akan selalu bersinggungan dengan politik dan kekuasaan. Setelah deklarasi Khittah pada Muktamar Situbondo 1984, NU menjabarkan Pedoman Berpolitik Warga NU di Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada 1989. Pedoman itu dituangkan dalam sembilan (9) poin, berisi kerangka etik dan moral tentang partisipasi politik warga dan bagaimana seharusnya politik dijalankan. Poin 2 berbunyi “Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama...” Poin 6 berbunyi “Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah...”
Politik tingkat tinggi NU adalah politik kebangsaan.
NU, sebagaimana mandat Muktmar Situbondo 1984, menetapkan NKRI final dan berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyah) berlangsung sampai kapan pun. Dengan kerangka ini, kita perlu memaknai ulang khittah dengan tafsir yang sesuai dengan semangat keputusan Muktamar NU 1984 dan 1989.
Menjaga Konsensus
Aspirasi untuk merongrong NKRI berdasarkan Pancasila telah berlangsung sejak Republik ini berdiri. DI/NII (1949-1952) adalah pionir gerakan makar berbalut agama. Aspirasinya diteruskan oleh Komando Jihad (1971-1981), JI (1993-2000), JAT (2008), JAD (2014), dan JAS (2014). HTI masuk Indonesia tahun 1980an dan mengusung konsep Khilâfah Islâmiyah. PKS sekarang menggemakan politik kebangsaan. Namun, semua orang tahu ideologi asal PKS adalah Ikhwanul Muslimin (IM) yang ingin menegakkan nizâm Islam. FPI basis keagamaannya tradisional, tetapi cita-cita politiknya NKRI Bersyariah.
Sekarang kita petakan konstelasi Pilpres dan relevansinya dengan khittah. Gus Solah mengkritik keterlibatan struktur NU ke dalam upaya pemenangan Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf Amin. Alasan bahwa di belakang Paslon 02 Prabowo-Sandi berdiri sejumlah kelompok anti Pancasila ditolak Gus Solah. “Tidak mungkin,” kata Gus Solah, “Prabowo seorang Letjen purnawirawan akan mendirikan khilafah.”
Saya setuju dan percaya bahwa Prabowo-Sandi tidak mungkin mempromosikan khilafah. Dalam kampanye terbuka di Manado beberapa hari lalu, Prabowo secara tegas menyatakan, “siapa yang mau mengganti Pancasila, akan berhadapan dengan saya.” Pernyataan ini, ironisnya, disampaikan di hadapan massa pengibar bendera HTI. Kasus ini tengah diselidiki oleh Bawaslu Manado.
Bukan kali ini saja HTI dan ormas Islam sejenis terlibat dalam kampanye Prabowo. Sejak Pilkada DKI 2017, Prabowo telah dengan sadar “menunggangi” dan “ditunggangi” Islam militan yang tergabung dalam gerakan 212. Prabowo bisa saja mengaku sebagai patriot sejati dan pembela NKRI, tetapi faktanya kelompok-kelompok Islam pengusung khilafah dan NKRI Bersyariah mendompleng Prabowo untuk menghantam Jokowi yang telah bertindak tegas terhadap mereka.
Kita belum bisa membayangkan apa kompensasi yang akan diberikan Prabowo kepada mereka seandainya menang Pilpres. Saya percaya Prabowo tidak mungkin mengganti NKRI dengan khilafah. Tetapi, tidak ada makan siang yang gratis. Pasti ada ‘jual beli’ dan kompensasi. Prabowo bisa saja memulihkan legalitas HTI dan memfasilitasi kiprah kelompok-kelompok Islam pendukungnya. Sekurang-kurangnya Prabowo akan bertindak seperti SBY, yang membiarkan kelompok Islamis berkiprah leluasa sepanjang 10 tahun kekuasaannya. Di era SBY, HTI bikin konferensi khilafah di GBK, disiarkan TVRI. SBY juga mengakomodasi PKS dengan sejumlah kursi menteri. Menteri Kominfo dijabat petinggi PKS yang konon banyak memberikan frekuensi publik kepada kelompok-kelompok Islam yang tidak ramah dengan kebhinekaan. Hasilnya kita petik sekarang. Jagat dunia mayat kita dipenuhi dengan narasi SARA dan ujaran kebencian.
Alhasil, kontestasi politik sekarang tidak sekadar Pilpres, tetapi pertaruhan ideologi kebangsaan. Setelah Gus Dur, Jokowi adalah presiden yang berani menghadapi arus Islam garis keras. Karena itu, dalam situasi seperti ini, tidak mungkin NU netral. NU harus membersamai Jokowi menghadapi kelompok-kelompok perongrong konsensus kebangsaan.
Sekretaris Umum PP ISNU,
Alumnus PP Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang