DILEMA NGUSTADZ

DILEMA NGUSTADZ



Arif Maftuhin*
Salah satu kebahagian saya tahun ini adalah bisa puasa penuh di rumah, tanpa perlu ke sana kemari untuk memenuhi jadwal imam taraweh dan ceramah Ramadan di masjid-masjid sekitar. Saya bahagia karena tidak perlu berhdapan dengan 'dilema Ngustadz' yang selalu menghantui pikiran setiap Ramadan tiba.

Walaupun punya sedikit pengalaman mondok, sekolah juga di madrasah dari nol sampai S3, memberi ceramah kegamaan itu tidak pernah menjadi cita-cita dan hobi. Saya selalu merasa canggung saat harus mengisi pengajian. Saya selalu merasa khawatir gagal memenuhi ekspektasi audien. Saya juga was-was jangan-jangan apa yang saya sampaikan tidak menarik. Tidak jarang, saya ingin menyudahi ceramah ketika waktu yang disediakan oleh panitia baru separoh jalan dan saya merasa gagal menyambungkan hati/mood dengan audiens.

Maka, kalau pun kemudian saya bersedia menjadi khatib Jumat di sebuah masjid, selalu ada alasan 'terpaksa' yang membenarkan. Saya bersedia menjadi khatib di masjid UIN, salah satu dari hanya tiga masjid yang saya khutbahi, karena mimbar itu bisa menjadi corong edukasi pendidikan inklusif di kampus. Maka di mimbar itu saya hanya berbicara tentang materi yang tidak akan disampaikan orang lain: inklusi pendidikan, hak difabel, dan hal-hal yang terkait itu. Tidak lebih.

Demikian juga ketika saya menjadi khatib di masjid kampung saya. Saya terpaksa bersedia karena harus memberi suara yang berbeda dari dominasi khatib nganu yang mengajarkan Islam nganu. Maka, saya lebih sering khutbah dengan tema anti-tesis pesan para khatib nganu. Mungkin, tanpa adanya kaum nganu saya tidak punya alasan untuk bersedia memberi khutbah.

Demikian juga dengan Ramadan. Saya merasa 'wajib' bersedia mengisi karenakhawatir (berdasarkan pengalaman) bahwa orang-orang yang tidak kompeten akan mengisi panggung-panggung keagamaan. Pengalaman itu nyata. Coba cek daftar penceramah di sebuah masjid kota. Siapa saja yang menjadi penceramah. Anda akan temukan beberapa orang yang entah darimana asalnya bisa menjadi 'ustad'.

Kalau selama pandemi ini orang komplain karena banyak orang bicara Corona padahal bukan orang kesehatan, maka dalam hal agama, hal ini sudah lama terjadi. Orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup diberi panggung sebagai juru bicara agama. Gus, Nganu itu sudah jelas tidak memiliki pendidikan agama yang cukup, tetapi koq bisa diundang ngaji di masjid-masjid seluruh negeri? Si Polan yang mualaf, tetapi kemana-kemana diberi suara untuk bicara agama.

Nah, daripada itu terjadi, maka saya 'terpanggil' untuk bersedia dengan penuh dilema. Jika ada pilihan lain, jika daftar sudah penuh dengan para kiai dan ustadz yang memang kompeten, saya akan berpikir lima kali untuk bersedia, untuk menemukan alasan khusus mengapa saya perlu ada. Jika tidak, mending saya tidak perlu saja. Corona tahun ini membantu saya untuk menghindari dilema itu. Barakallahu lana wa Corona.




*Pengajar di UIN Sunan Kalijaga. 
Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: